web 2.0

Jumat, Desember 07, 2007

Renungan Untuk Tidak Berpikir Picik


[Oleh: Muh. Ihsan ibnu Zainuddin, Lc]
Pengamat dan Pendukung Dakwah Salafiyah

SAYA bersyukur kepada Allah yang telah memberikan saya hidayah untuk meyakini bahwa Islam yang benar hanya dapat dipahami dan diamalkan sebagaimana manhaj para As-Salaf Ash Shaleh. Saya juga bersyukur karena Allah juga memberikan rasa cinta dalam hati saya kepada generasi terbaik itu. Walaupun saya tak pernah bisa benar-benar sama dengan mereka (dan tak akan pernah sama), bahkan menyerupai pun rasanya jauh. Apa sih yang dapat kita lakukan di zaman yang penuh fitnah ini, selain berusaha memperkecil perbedaan kondisi pribadi kita (dalam hal aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlak) dengan kondisi keseharian kaum salaf ?
Di zaman ini, pengakuan diri sebagai seorang salafy mungkin hanya bisa diterjemahkan sebagai kesalaf-salafan saja, atau berusaha untuk menyerupai kaum As salaf Ash Shaleh saja. Dan itu sekali lagi amat berat. Jika ada yang merasa lebih dari itu, merasa diri benar-benar pas dengan kehidupan kaum As Salaf Ash Shaleh, maka menurut saya ia hanyalah orang yang tertipu oleh dirinya sendiri. Kita sekarang ini hanya dapat menghibur diri dengan pesan Nabi shallallahu ‘alai hi wassalam kepada seorang sahabat, “Seseorang itu (kelak di akhirat) akan bersama dengan orang yang ia cintai.” Mudah-mudahan dengan kecintaan pada generasi As Salaf Ash Shaleh, kelak kita akan bersama-sama mereka di surga. Semoga. Dan sejak mengenal manhaj salaf sebagai satu-satunya metode yang benar dalam memahami Islam, saya pun merasa tersejukkan setiap kali mendengar apapun mengenai manhaj ini dan para pejuang-pejuangnya. Saya begitu yakin, bahwa manhaj salaf adalah Islam itu sendiri.
Ya, ia adalah penjelasan, penjabaran, dan gambaran tentang Islam itu sendiri, yg begitu lengkap, menyeluruh dan mencakup seluruh aspek kehidupan. Sejak awal, saya telah meyakini bahwa Islam adalah jalan hidup yang indah dan menyejukkan. Maka dalam hati saya pun terpatri keyakinan bahwa manhaj salaf pun pastilah sebuah manhaj yang indah dan menyejukkan. Itulah keyakinan saya hingga kini dan Insya Allah akan menjadi aqidah saya hingga maut datang menjemput. Ya Allah, kabulkanlah!
Oleh sebab itu, saya sangat sedih bila ada sebagian pejuang da’wah salafiyah yang justru membuat keindahan dan kesejukan manhaj salaf itu ternodai, hanya dikarenakan pemahaman yang tidak benar, bahkan cenderung picik terhadap manhaj yg agung ini. Hanya mengambil sepotong-sepotong, lalu melakukan penyerangan kesana kemari. Dan yang lebih hebat lagi, penyerangan itu disertai nukilan-nukilan dalil dan pendapat para ulama yang tidak ditempatkan pada tempat yang semestinya, ditambah dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar.Akibatnya, perpecahan -yang nota bene merupakan salah satu tanda pokok ahlul bid’ah- justru menjadi fenomena yang tak asing lagi di kalangan orang-orang yang mengaku berjuang di atas manhaj salaf. Bahkan tidak sekedar berpecah. Mereka juga saling menyerang, menuduh dan menuding. Maka anda dapat menyaksikan betapa banyak murid-murid yang dengan penuh gagah berani menyerang (bekas) ustadz-ustadznya. Padahal sang ustadzlah yg memperkenalkan manhaj salaf kepada mereka. Dan yang lebih lucu lagi, muncul fenomena bantah membantah via kaset. Bila seseorang membuat tahdzir terhadap si fulan dalam 3 kaset, maka tunggulah bantahan si fulan dalam 5 kaset.
Siapapun yang melihat ini akan tertegun heran. Para ahlul bid’ah akan bersorak-sorai melihat pertarungan antar pejuang Ahlussunnah. Namun saya sangat sedih. Inikah yang diwariskan oleh generasi As Salaf Ash Shaleh ? begitulah bunyi pertanyaan yang hingga kini selalu merisaukan hati saya. Pertanyaan itu terus menggelora, hingga saya menyimpulkan (sesuai kapasitas ilmu saya yang masih sedikit) bahwa nampaknya ada kesalahan dalam memahami manhaj ini. Dalam manhaj Ahlus-sunnah, perbedaan pendapat tidaklah identik dengan perpecahan. Semuanya pasti mengetahuinya. Namun tidak banyak yang benar-benar faqih dan santun menerapkannya. Terkadang masalah yang ijtihadiyah dijadikan sebagai pangkal perpecahan. Hanya karena satu masalah yang para ulama besar pun berbeda pendapat di dalamnya, seseorang begitu mudah mengeluarkan saudaranya dari lingkaran ahlusunnah wal-jama’ah. Padahal generasi As-Salaf Ash Shaleh telah mewariskan kepada kita Adab Al Khilaf (adab dan etika berbeda pendapat).
Seperti ditunjukkan dengan sangat indah oleh Imam Syafi’iy kepada salah seorang lawan diskusinya, yang tidak lain adalah muridnya sendiri, “Tidak pantaskah kita tetap bersaudara, walaupun kita berbeda pendapat dalam beberapa masalah ?” . Dan Beliau mengucapkannya seraya menggenggam tangan muridnya itu. Alangkah indahnya jika para pejuang da’wah Salafiyyah kita bisa seperti itu.
Yang menyedihkan, sebagian anak-anak muda (ikhwan maupun akhwat) yang baru kemarin sore belajar manhaj salaf sudah berani melemparkan vonis sesat kepada para pejuang/da’i yg sudah bertahun-tahun menda’wahkan manhaj salaf. Belum lagi selesai memahami dengan baik buku kecil Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan (Syarh Ushul Al Iman), sudah berani menyesatkan orang lain. Bahkan membaca Al-Qur’an pun masih terbata-bata. Dalam sejarah kaum salaf, kita tidak pernah menemukan ada seorang murid yang baru belajar Islam lalu kemudian berkoar-koar menyesatkan para salafy lainnya.
Yang lebih memprihatinkan, ada suara-suara yang mencela buku karya ulama besar, hanya karena tidak sesuai dengan pendapat atau kemauan ustadznya. Kita semua telah mengetahui sebuah kaidah (fiqih) yg berbunyi, Al Yaqin La Ya zuulu Bisysyak (sebuah keyakinan tidak dapat dihilangkan hanya dengan sebuah keraguan). Ini adalah sebuah kaidah yang sangat penting dan berlaku dalam seluruh aspek kehidupan. Bila kita telah mengetahui dengan yakin bahwa seseorang itu Muslim, maka keyakinan itu tidak dapat kita gugurkan hanya dengan isu yang kita dengar bahwa ia telah kafir. Atau hanya karena kita ragu apakah ia masih Muslim atau sudah kafir, kita tidak dapat mengkafirkannya, sampai akhirnya kita mempunyai bukti yg memyakinkan bahwa ia telah kafir.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, saya ingin menitipkan dua buah pesan sederhana:
Pertama, Untuk Para Tunas Baru Salafiyyun.Teruslah memperdalam manhaj salaf dengan benar. Lakukanlah muhasabah terhadap aqidah kita, sudah sesuaikah dengan manhaj salaf ? Terhadap ibadah kita, sudah tepatkah ? Dan yang tak kalah pentingnya terhadap akhlak dan perilaku kita, semakin luhurkah kita ? Semakin santunkah kita ?. Kita pasti tahu bahwa Nabi SAW (penghulu para salafiyyun) diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Ingatlah, bahwa akhlaq yang buruk menunjukkan adanya ketidak-beresan dalam memahami manhaj yang agung dan mulia ini.
Kedua, kepada para ustadz pejuang manhaj salaf -yang menuduh dan yang tertuduh- Perjalanan masih amat panjang untuk menyebarkan manhaj yg haq ini. Lalu mengapa saling menuduh ? Tidaklah lebih baik bila kita membersihkan hati dari hasad, dengki dan penyakit hati lainnya, lalu bergandengan tangan menda’wahkan manhaj ini ? Mungkin kini saatnya bermuhasabah. Barangkali setiap kita masih harus belajar banyak tentang manhaj ini. Tidak ada yang ma’shum selain Rasulullah Salallahu alaihi wasallam.
Akhirnya, saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan, “Bila apa yang engkau tuduhkan padaku itu benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuniku. Namun jika apa yang engkau tuduhkan itu tidak benar, maka mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahanmu.” Saya teringat (namun sayang sekali saya lupa dalam kaset yg mana), ketika seseorang bertanya kepada Syaikh Nashiruddin Al Albany tentang Syaikh Salman Al ‘Audah, Beliau rahimahullah menjawab, “Huwa ma’ana ‘ala al khath as salafy (Dia bersama kita di atas jalan salafy)”.Lihatlah perbedaan sikap seorang ‘alim yang faqih dengan yang tidak. Syaikh Salman bukanlah seorang yang ma’shum. Beliau juga punya kesalahan, namun hal itu tidaklah mengeluarkan Beliau dari lingkaran Ahlussunnah. Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin.
Makassar, 30 Rabi’ul Awwal 1424 H,–dari yang berharap menjadi peneladan yang baik bagi kaum As Salaf ash Shaleh–

0 komentar: